-falafu-
Saya
bukan anggota para pemuja nilai. Saya hanya mencoba melakukan yang terbaik
semampu saya di setiap hal yang saya kerjakan. Nilai baik ataupun buruk
mengikuti tiap usaha yang diusahakan. Bagi saya nilai bukan segalanya, itu
hanya kumpulan angka atau huruf yang dibuat oleh manusia. Usaha melakukan yang
terbaik semampu kita itulah yang lebih penting. Usaha untuk memperoleh ilmu
yang bermanfaat.
Tersenyum kecut. Itulah yang refleks
terjadi ketika saya membuka Twitter tertanggal 4 Januari sore itu. Entahlah.
Saya pikir mereka bener-bener butuh pijakan kuat untuk siap menerima apa yang
didapat. Terlalu banyak ucapan dan rencana, tanpa pernah memastikan apa yang
diucapkan maupun direncanakan benar-benar terjadi. Apa yang diutarakan menjadi
penyebabnya hanya sebuah alibi. Sebuah tameng. Siapa suruh bermain dengan api,
kalau toh mereka marah ketika tangan terbakar? Berlari menghindar? Itu hanya
akan menimbulkan masalah lain. Siapa suruh terlalu mendewakan nilai, kalau
diakhir tak selalu seperti yang kita harapkan? Saya bersyukur sekali lahir dari
orang tua yang tak pernah komplain dengan seberapa besar nilai akademis saya. Tiap
salim (mencium tangan) yang mereka katakan adalah “Semoga mendapatkan ilmu yang
bermanfaat ya Nak ” bukan “Semoga dapat nilai yang paling tinggi”. Dari situ
saya tak pernah terobsesi untuk mendapatkan nilai A/8/9/atau 10. Toh orang tua
saya tak pernah ambil pusing. Berapapun nilai ulangan saya, berapapun nilai
yang tertera di raport saya, mereka percaya kalau saya telah melakukan yang terbaik,
telah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Dan kepercayaan itulah yang harus saya jaga. Maka dari itu ditiap langkah
pendidikan saya, ditiap apa yang menjadi kewajiban saya sebagai murid, saya
kerjakan sebaik mungkin. Bagaimanapun hasil akhirnya nanti, itu akan mengikuti.
Begitulah. Bukankah memang begitu satu-satunya jalan untuk mendapatkan
‘ilmannafi’a ?
Anjing menggonggong, kafilah
berlalu. Terserah bagaimanapun pendapat mereka terhadap apa yang saya lakukan
selama ini. Mereka bilang saya terlalu obsesi nilai? Di atas sudah saya
singgung, saya bukan anggota para pemuja nilai. Kalu saya mau nilai saya jelek saya bisa, mau nilai baik saya juga bisa. Toh orang tua saya juga tak pernah mempermasalhkan. Tapi itu semua adalah pilihan. Namanya pilihan tentu saja semua manusia akan memilih yang terbaik. Saya hanya mencoba melakukan
yang terbaik semampu saya di setiap hal yang saya kerjakan. Nilai baik ataupun
buruk mengikuti tiap usaha yang diusahakan. Apakah itu salah?
Saya pikir mereka yang tak
sependapat adalah manusia yang tak pernah mampu mengendalikan pikirannya sendiri.
Tak pernah mampu menyembunyikan kesinisan mereka kepada manusia-manusia yang berhasil
memanagement dirinya sendiri dengan baik. Kesinisannya hanya semakin membuat
dirinya terlihat lemah. Alibi. Alibi. Alibi. Sudah saya bilang, kenapa harus
bermain api kalau akhirnya kau marah jika tangan terbakar ? Perbaiki saja
kelakuanmu. Jangan pernah menjudge seseorang tanpa pernah tahu apa yang
membuatnya menjadi seperti itu. Atau mungkin lebih pantas mereka adalah
manusia-manusia yang mundur sebelum berperang ? Terserahlah! Apapun yang
terjadi, saya harus tetap menatap ke depan, melakukan semuanya dengan baik
sesuai kemampuan saya. J
“Demi masa. Sesungguhnya manusia
benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati menetapi kesabaran ”
QS. Al-Ashr