Sore yang kelabu. Tak seperti sore-sore bulan lalu.
Bahkan pertanyaan itu, seperti menyadarkanku. Hidup tak selamanya harus begini.
Membuka hati :)

Sore yang kelabu. Tak seperti sore-sore bulan lalu.
Aku hanya takut, kejadian dua tahun silam itu kembali terulang. Mengubahku menjadi manusia cengeng, manusia yang bahkan tak layak lagi disebut manusia. Kadang seganas harimau, terkadang juga selelet siput. Hidup segan mati tak mau. Rasanya bunga penuh warna di halaman sekolah itu, enggan bahkan tak sudi bermekaran lagi. Sesak.

Sore yang kelabu. Tak seperti sore-sore bulan lalu.
Manusia tak selalu bisa dilihat secara singkat. Yang luarnya "begini", belum tentu juga dalamnya "begini". Kalau boleh membanggakan diri sedikit, manusia seperti cangkang mutiara. Akan indah jika berhasil membukanya. Tentunya kesabaran disini juga harus diuji. Apakah kau akan tetap teguh membukanya, atau kau putus asa diseparuh jalan dan membiarkannya dibuka oleh orang lain? Kau belum mencobanya. Tapi sekali mencoba, rupa-rupanya, kau mau balik kucing setelah saparuh perjalanan? Benarkah ? Ah, ku doakan dari sini untukmu, untuk tetap kuat, tetap terus menyelam :)

Sore yang kelabu. Tak seperti sore-sore bulan lalu.
Begitu pula hitam. Hitam tak selamanya harus hitam. Kau harus bisa mengubah hitam itu jadi berwarna. Bagaimana caranya? Itu terserah kau. Yang jelas, hanya perlu kesederhanaan. Bukankah hitam itu sederhana? Bukankah cinta itu sederhana? Layaknya Indomie jadi omelet, awan menjadi hujan ?

Sore yang kelabu. Tak seperti sore-sore bulan lalu.
Ajari aku bagaimana menari di dalam hujan, ajari aku bagaimana tertawa saat tertusuk jarum, ajari aku bagaimana melayang bebas meski terkubur dalam tanah. Cinta memang selalu menuntut kebahagiaan yang sederhana.

*untukmu yang merasa :)


Leave a Reply